Di suatu sore, seorang bocah keluar rumah dan berkumpul bersama teman-teman sebaya. Salah satu dari mereka, ada yang memegang bola plastik yang biasa dibeli dari toko kelontong. Sembari bercengkerama, mereka berjalan menuju suatu tempat yang lapang. Tidak jarang, mereka membentuk formasi konvoi dengan sepeda-sepeda kecil mereka. Sesampainya di lokasi, mereka tidak menghiraukan permukaan tempat lapang tersebut, entah beton, semen, tanah, ataupun rerumputan. Mereka juga tidak menghiraukan di mana mereka, baik itu lapangan, gang-gang kecil, ataupun di emperan atau halaman rumah. Tanpa dikomandoi, mereka mencari sebilah bambu, batu, atau benda lain yang bisa menggantikan tiang gawang, tentunya jika di situ tidak ada gawang. Setelah sukses menjadi "panpel", mereka lekas berkumpul untuk membagi bocah-bocah yang ada dalam dua tim. Bola digulirkan, kaki-kaki kecil lincah berlarian, terdengar suara mereka memanggil rekan satu tim. Permainan yang cukup serius, namun diselingi gelak tawa bocah-bocah itu. Potret seperti itu, bukan hanya terjadi di tempat itu saja, tetapi juga di berbagai pelosok sebuah negeri tropis ini. Bambang Pamungkas, Ronny Paslah, Irfan Bachdim, Ricky Yacobi, atau Robby Darwis versi bocah bisa muncul di sini. Bahkan, mereka bisa saja mengolah bola seperti Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi, tanpa kita tahu. Sepakbola Indonesia tidak hanya identik dengan timnas, atau kompetisi skala nasional. Masih ada ribuan bocah yang menggandrungi sepakbola, entah sekedar mengisi waktu luang, bertanding mewakili wilayah, sekolah, SSB, atau tim junior, hingga bercita-cita menjadi pemain profesional. Sepakbola bukan hanya milik kalangan tertentu, apalagi untuk kepentingan politik, sepakbola milik seluruh rakyat Indonesia.
