KOMPAS.TV - Teror terhadap pembicara dan panitia diskusi tentang pemecatan presiden ditinjau dari sistem tata negara, masih menuai perdebatan. <br /> <br />Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, YLBHI, menilai teror sebagai bentuk ancaman terhadap demokrasi di pemerintahan saat ini. <br /> <br />Teror berupa ancaman terhadap pembicara dan panitia diskusi pemecatan presiden ditinjau dari sistem tata negara, masih belum selesai. <br /> <br />Ancaman dan teror dianggap Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, merupakan ancaman kebebasan berpendapat dan berkumpul. <br /> <br />Dikutip dari situs Voice of America, VOA.Indonesia.com, YLBHI kasus ancaman ini menambah kasus dalam setahun terakhir yang sebelumnya mencapai 6.128 orang yang jadi korban ancaman dan teror saat mengemukakan pendapat. <br /> <br />Direktur Eksekutif YLBHI, Asfinawati menilai data tersebut menunjukkan adanya pengulangan karena ada pembiaran. <br /> <br />Pada Kamis hingga Jumat pagi, rumah pembicara diskusi, yakni guru besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia, UII Yogyakarta, Profesor Nimatul Huda, didatangi sekelompok orang. <br /> <br />Pihak UII Yogyakarta sudah membentuk tim hukum, dan melaporkan ancaman tersebut ke polisi. <br /> <br />Seperti anjuran Menteri Koordinator Politik Hukum Dan Keamanan, Mahfud MD, tak cuma pembicara, panitia pun diteror lewat pesan whatsapp. <br /> <br />Mahfud menilai diskusi soal pemecatan presiden semestinya tetap berlangsung. <br /> <br />Karena, diskusi bukan makar. <br /> <br />Untuk itu, Mahfud meminta polisi segera mengusut teror tersebut. <br /> <br />Diskusi bertajuk persoalan pemecatan presiden di tengah pandemi ditinjau dari sistem ketatanegaraan, membuat perdebatan di publik. <br /> <br />Mengapa sebuah diskusi akademis jadi ancaman sekelompok orang, sementara kebebasan berpendapat dijamin konstitusi. <br /> <br />