MAKASSAR, KOMPAS.TV - Di tengah kontroversi, karena dinilai merugikan pekerja, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, disahkan dalam pembahasan yang berlangsung cepat. <br /> <br />Sejumlah pasal kontroversial yang dikeluhkan kalangan pekerja, tetap disahkan, sementara sejumlah pasal lain, bahkan berubah dari pembahasan di tingkat panitia kerja, hingga diketok di paripurna. <br /> <br />Pihak-pihak yang tak puas, dipersilakan mengajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi. <br /> <br />Sidang paripurna DPR, Senin sore, mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, menjadi Undang-Undang. <br /> <br />Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja ini juga menutup masa sidang anggota parlemen, lebih cepat, dari yang direncanakan, yakni 8 Oktober 2020. <br /> <br />RUU ini memuat 79 Undang-Undang, diubah sekaligus, dalam rancangan Omnibus Law, alias Undang-Undang Sapu Jagat, berisi seribu dua ratus tiga pasal, yang pembahasannya dikebut dalam enam bulan terakhir. <br /> <br />Selama dibahas di DPR, tak terhitung unjuk rasa buruh, memprotes pasal-pasal di dalamnya, yang dinilai merugikan pekerja. Akses draf Rancangan Undang-Undang ini juga terbatas. <br /> <br />Hasilnya, Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan, ternyata masih memuat sejumlah pasal kontroversial itu. <br /> <br />Di antaranya, pengurangan nilai pesangon, dari 32 kali upah sesuai UU Ketenagakerjaan, menjadi 25 kali. <br /> <br />Selain itu, hari libur mingguan, juga diatur hanya satu hari dalam seminggu, dengan enam hari kerja. <br /> <br />Dalam Undang-Undang yang disahkan, tenaga alih daya diperbolehkan untuk semua jenis pekerjaan. <br /> <br />Pembatasan tenaga alih daya, pada lima pekerjaan seperti dalam Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 dihapus. <br /> <br /> <br /> <br />