JAKARTA, KOMPAS.TV - Kontroversi Vaksin Nusantara kerjasama perusahaan bio teknologi Amerika Serikat, Aivita Biomedika terus mencuat setelah uji klinis kedua vaksin ini tetap dilakukan. <br /> <br />Juru Bicara Satgas Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkap Vaksin Nusantara dikembangkan di Amerika Serikat dan diujicoba di Indonesia. <br /> <br />Wiku menyebut pemerintah mendukung seluruh pengembangan vaksin sepanjang memenuhi semua syarat dan kriteria. <br /> <br />Sementara Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny Lukito mengakui tidak akan menghentikan uji klinis kedua Vaksin Nusantara meski sejumlah syarat pengembangan vaksin belum diserahkan pihak peneliti. <br /> <br />Peneliti utama uji klinis kedua Vaksin Nusantara, Kolonel TNI Jonny, sel darah putih dari peserta uji klinis mengenali virus Covid-19 dalam 7 proses pembiakan dan pengenalan. <br /> <br />Metode ini diklaim membuat sel darah putih tubuh lebih siap menghadapi virus Covid-19. <br /> <br />Uji klinis kedua Vaksin Nusantara digelar tanpa izin BPOM Rabu kemarin di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto diikuti sejumlah tokoh nasional dan anggota DPR. <br /> <br />Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad membantah adanya kontroversi pengembangan Vaksin Nusantara. <br /> <br />Vaksin Nusantara mulai dikembangkan Oktober 2020 lalu dan disebut sebagai inisiasi mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. <br /> <br />Uji klinis pertama Vaksin Nusantara digelar di Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang, Jawa Tengah, dan jadi salah satu kritik BPOM terkait dewan etik Vaksin Nusantara. <br /> <br />Sejumlah anggota DPR ramai-ramai menjadi sukarelawan Vaksin Nusantara. <br /> <br />Padahal vaksin ini masih terganjal persetujuan BPOM. <br /> <br />Apakah tindakan anggota DPR ini adalah aksi politis? <br /> <br />Bagaimana agar publik tidak disuguhi kesimpangsiuran informasi terkait izin dan keamanan Vaksin Nusantara? <br /> <br />Simak pembahasannya bersama Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, dan Epidemiolog Griffith University Australia, Dicky Budiman. <br /> <br />