KOMPAS.TV - Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono menyatakan kondisi kapal KRI Nanggala-402 terbelah menjadi tiga bagian. <br /> <br />Terdapat bagian yang terlepas dari badan utama kapal. <br /> <br />Yudo menjelaskan terdapat bagian belakang kapal tak berbadan tekan, selanjutnya kemudi horizontal dan vertikal. <br /> <br />Pantauan ini terlihat melalui alat ROV dari Singapura yang mendapat kontak visual dan memperlihatkan adanya serpihan badan kapal KRI Nanggala 402 di kedalaman 838 meter. <br /> <br />Sementara itu, kabar duka disampaikan oleh Panglima TNI, Marsekal Hadi Cahyanto yang menyatakan seluruh awak yang berada dalam KRI Nanggala 402 telah gugur. <br /> <br />Hal ini disampaikan langsung pada saat konferensi pers TNI pada Minggu, 25 April 2021. <br /> <br />Pernyataan ini berdasarkan temuan serpihan dan adanya sinyal Kapal selam KRI Nanggala 402 yang terdeteksi terakhir berada di kedalaman 838 meter. <br /> <br />Sementara diberitakan Schmidt Ocean Institute yang dikutip Kompas.com, di kedalaman lebih dari 800 meter kondisi air tidak seperti yang dirasakan di kolam renang. <br /> <br />Mantan Kepala Kamar Mesin KRI Nanggala-402, Laksamana Muda (Purnawirawan) Frans Wuwung menyebutkan kapal tenggelam dan terbelah akibat sudah melewati batas maksimum kedalaman. <br /> <br />Tekanan hidrostatis air meningkat sebanyak 1 atm setiap kedalaman 10 meter. Artinya, jika tekanan di udara adalah 1 atm, tekanan di kedalaman 850 meter adalah 85 atm dan manusia hanya bisa bertahan pada tekanan sekitar 3-4 atm. <br /> <br />Berenang di laut pada kedalaman 850 adalah hal yang tidak mungkin bagi manusia, rasanya mungkin akan sama seperti dinjak 100 ekor gajah di kepala. <br /> <br />Doa dan rasa hormat menyertai kepergian 53 awak KRI Nanggala-402, setelah kapal selam tersebut dinyatakan tenggelam. <br /> <br />Simak dialog selengkapnya bersama Mantan Kepala Kamar Mesin KRI Nanggala-402, Laksamana Muda (Purnawirawan) Frans Wuwung, Pengamat Militer dari Institut for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi dan Jurnalis Harian Kompas, Edna Pattisina. <br /> <br />