Keretakan di tubuh KPK belum bisa segera pulih, kendati Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan sikap politiknya. <br /> <br />Presiden menegaskan, hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) tidak menjadi alat untuk memberhentikan mereka. <br /> <br />Karut-marut kondisi KPK sekarang ini tak bisa dilepaskan dari revisi UU KPK yang dipaksakan elite politik. Akibatnya, terjadi konflik di dalam KPK dan polarisasi di tengah masyarakat. <br /> <br />Melalui pemberitaan media, tampak ada keretakan hubungan di dalam tubuh pimpinan KPK. <br /> <br />Bahkan, mengutip mantan Wakil Ketua KPK Laode Syarif, dua Wakil Ketua KPK berbeda pendapat dengan Ketua KPK Firli Bahuri, soal tes wawasan kebangsaan. <br /> <br />Seharusnya, kepemimpinan KPK dibangun secara kolektif kolegial, bukan kepemimpinan tunggal personal. Empat Wakil Pimpinan KPK lain seperti diam. <br /> <br />Begitu juga dengan Dewas KPK. Lembaga dengan kewenangan besar ini juga tampaknya terbelah. <br /> <br />Hanya Syamsuddin Haris yang berani bersuara dan menyatakan TWK bermasalah. Anggota Dewas Indriyanto Seno Adji yang masuk menggantikan Artidjo Alkostar, membenarkan penonaktifan 75 pegawai KPK. <br /> <br />Sementara tiga orang lainnya juga tak muncul pandangannya di depan publik. Mereka adalah Tumpak Hatorangan Panggabean, Harjono dan Albertina Ho. <br /> <br />Di level masyarakat digital juga tercipta polarisasi. <br /> <br />Satu pihak mengatakan, KPK telah disusupi ideologi radikal kelompok Taliban, yang bisa mengancam eksistensi negara bangsa, sehingga KPK harus dibersihkan. <br /> <br />Akan tetapi kenyataannya, pegawai yang tidak lulus ada yang beragama non-muslim. <br /> <br />Namun, ada pula kontra narasi. Revisi UU KPK dan pembersihan pegawai KPK adalah upaya melemahkan KPK. <br /> <br />Para pegawai itu disebutkan sedang menangani kasus korupsi besar dan harus dibersihkan. Dan, itu adalah kemenangan para koruptor. <br /> <br />
