Kebingungan publik dalam menyikapi pandemi, bukan hanya karena hoaks yang bertebaran. Tapi juga soal komunikasi di jajaran Pemerintah yang berbeda-beda antara satu menteri dengan menteri lain, untuk satu hal yang sama. <br /> <br />Mungkin juga karena terlalu asyik, kadang banyak improvisasi dalam komunikasi, yang akhirnya menimbukan beragam spekulasi. <br /> <br />Kesemrawutan komunikasi bisa menggerus kredibilitas Pemerintah. Kesemrawutan dalam komunikasi kian ditambah dengan berkembangnya media sosial. <br /> <br />Di media sosial, siapa pun bisa ngomong apa saja. Sejauh komunikasinya meyakinkan, dia bisa langsung popuper dan dipercaya, terlepas kebenaran substansinya. <br /> <br />Gejala itu muncul dalam fenomena dokter Louis, publik bingung. Dipanggil polisi namun kemudian dilepas. Situasi komunikasi saat ini terjadi dalam era yang disebut post truth. <br /> <br />Kebenaran ditentukan bukan oleh data, melainkan oleh keyakinan. Tak peduli siapa berbicara, tapi apakah substansi yang disampaikan sesuai dengan keyakinan dia atau tdak. <br /> <br />Dalam situasi itu, Pemerintah sebenarnya punya peluang menjelaskan duduknya perkara. Pemerintah yang kredibel dan punya otoritas, punya banyak kanal untuk menjelaskan suatu masalah. <br /> <br />Namun, sayang, di dalam tubuh Pemerintah pun ada masalah dalam menata komunikasi. <br /> <br />Gaya komunikasi pejabat Pemerintah yang congkak dan cenderung menantang publik, justru menimbulkan antipati publik. <br /> <br />Gaya komunikasi menantang dan bukan mendengar dan menjelaskan, tidak tepat dalam realitas masyarakat yang sudah terbelah. <br /> <br />Contoh terkini soal apakah PPKM Darurat diperpanjang atau tidak? Komunikasinya pun semrawut. <br /> <br />
