KOMPAS.TV - Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara divonis 12 tahun penjara atau 1 tahun lebih berat daripada tuntutan jaksa dan denda 500 juta rupiah, serta pidana tambahan membayar uang pengganti 14,59 miliar rupiah dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, hari Senin lalu (23/8). <br /> <br />Selain itu, hakim juga mencabut hak politik Juliari selama 4 tahun. Majelis Hakim menilai, juliari terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dengan menerima suap sebesar 32,4 miliar rupiah dari rekanan penyedia paket bansos covid-19 di Kementerian Sosial. <br /> <br />Dalam pertimbangannya, hakim menilai ada 2 hal yang memberatkan vonis Juliari yakni, Juliari tidak mengakui perbuatannya dan tindakan korupsi yang ia lakukan terjadi saat Indonesia tengah menghadapi pandemi. <br /> <br />Namun, hakim juga mempertimbangkan 3 hal yang meringankan vonis Juliari yaitu, Juliari belum pernah dijatuhi hukuman pidana sebelumnya. <br /> <br />Kedua, Juliari sudah cukup menderita karena dicerca, dimaki, dan dihina oleh masyarakat, padahal belum dinyatakan bersalah secara hukum. Dan ketiga, Juliari selalu disiplin dalam menghadiri sidang. <br /> <br />Pertimbangan hakim yang meringankan vonis Juliari inilah yang mendapat sorotan dan menuai kritik luas dan dinilai melukai rasa keadilan masyarakat. <br /> <br />Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, menilai pertimbangan meringankan itu tak masuk akal, karena Juliari seharusnya dihukum seberat-beratnya. <br /> <br />Menanggapi pertimbangan hakim yang meringankan vonis Juliari Batubara, Juru Bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, menyebut belum ada aturan definitif yang membatasi penentuan pertimbangan meringankan maupun memberatkan oleh hakim. <br /> <br />Simak pembahasan selengkapnya dalam tayangan berikut bersama Mantan Pimpinan KPK Saut Situmorang, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, dan Pakar Hukum Pidana sekaligus Mantan Hakim, Asep Iwan Iriawan. <br /> <br /> <br />