KOMPAS.TV Rapai, alat musik tradisional Aceh kini produksinya mulai langka. Salah seorang perajin rapai yang tersisa, Fajar kini ia bertahan di tengah pandemi covid yang mendera. <br /> <br />Pria paruh baya yang tinggal di kawasan perumahan Bulan Sabit Merah Kuwait, Kaye Lheu, Aceh Besar sudah menekuni pekerjaan ini sejak 1996 silam. <br /> <br />Baginya, menjadi pengrajin rapai bukan saja mengumpulkan pundi-pundi rupiah tapi sebagai cara merawat tradisi serta menjaga alat musik tradisional agar tak punah. <br /> <br />Baca Juga Mengenal Penting, Alat Musik Khas Karangasem Bali yang Kian Meredup di https://www.kompas.tv/article/209979/mengenal-penting-alat-musik-khas-karangasem-bali-yang-kian-meredup <br /> <br />Tak setiap hari ada orang yang memesan rapai, kali ini beruntung, Fajar dapat satu orderan rapai dia mulai membubut kayu sejak pagi tadi. <br /> <br />Perlu teknis khusus agar kayu tidak patah, mulai dari pembubutan hingga pemasangan kulit kambing memerlukan kemampuan serta kesabaran. <br /> <br />Untuk membuat satu unit rapai menghabiskan waktu hingga seminggu, harganya berkisar dari Rp 800 ribu hingga belasan juta rupiah. <br /> <br />Sudah dua tahun pesanan rapai tidak ada untuk memenuhi kebutuhan empat orang anaknya dia terpaksa bekerja sebagai buruh tukang bahkan jadi nelayan. <br /> <br />Pun demikian, Fajar tak goyah untuk terus menjadi perajin rapai. Rapai alat musik tradisional yang paling penting dalam kesenian aceh ini tetap terjaga hingga kini walau perajinnya mulai langka. <br /> <br />Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/article/222506/pria-paruh-baya-pengerajin-alat-musik-rapai-bertahan-di-tengah-pandemi
